Senin, 22 April 2013

HIDUPKU SEKERAS BATU

Aku memejamkan mata. Sudah hampir lima tahun aku tidak mendengarnya lagi. Suara itu. Suara ketukan, bukan pintu. Suara dimana Ibuku mengajarkan pentingnya bersyukur, kerja keras dan pantang menyerah. Aku menikmati setiap suara ketukannya, seperti alat metronom music yang mempunyai ketukan yang seimbang dan berirama. Yang harus kau lakukan hanya mendengar. Dalam pejamanku, aku tersenyum. Teringat ketika aku sekolah dasar selalu diantar oleh Ibuku ke sekolah menggunakan sepeda tuanya melewati jalan dimana aku berdiri saat ini. Aku duduk dibelakang sambil memeluknya dengan erat. ‘pegangan yang erat kita akan meluncur ke bawah, awas ada lubang, angkat kaki kamu nanti basah’. Itu adalah sepatah dua kata atau lebih yang pernah Ibu bilang kepadaku dengan canda tawa diatas sepeda. Saat memeluknya dari belakang, aku merasakan nafasnya naik turun dengan cepat, dan ketika aku turun dari sepeda untuk membantunya mendorong disaat tanjakan, aku memperhatikan nafas yang keluar dari mulutnya. Aku tidak berani untuk menanyakan ‘ ibu, apakah kau lelah?’ aku tidak berani. Entah kenapa, aku hanya merasa takut putus sekolah dan belum bisa membantunya apa-apa. Apakah diumurku saat itu bisa dibilang aku egois. Tidak mudah, ibuku harus menggerakan roda belakangnya hingga 3 kilometer untuk sampai ke sekolahku. Sampai aku tidak dapat membedakan yang mana keringat dan air mata, semuanya tertutup oleh senyumannya yang sederhana. Sepeda itu, sudah menjadi bangkai. Seperti tikus yang terlindas mobil dan pergi. Ayahku membanting dan memutuskan rantainya, sehingga ibu tidak dapat menggerakan roda belakangnya lagi. Laki-laki itu seperti kesetanan, marah karena kelaparan. Hanya beberapa batang singkong rebus yang kita punya. Adik kecilku yang lebih muda 5 tahun dariku menangis, Ibu pun ikut menangis. Cukup. Aku tidak menangis, aku ingin sekali membunuhnya. Tetapi Ibu selalu memelukku dari belakang dan mengusap-usap dadaku. Setelah itu tikus itupun pergi dan tidak pernah kembali lagi, mungkin tikus itu lebih suka keju dibanding sebatang singkong rebus, atau sekarang ini tikus itu sudah menjadi bangkai. Aku harap begitu. Kenapa kau selalu tersenyum Ibu, apa yang kau rasakan sebenarnya. Kenapa Ibu kuat hidup bersama makhluk pengerat itu. Ayahku memang brengsek. Tanpa sepedaku, sekarang aku harus berjalan kaki ke sekolahku. Sendiri. Kali ini aku mengerti dan dapat membedakan yang mana keringat dan air mata yang keluar dari Ibu. Maka dari itu ku biarkan dia dirumah, hanya sesekali ia mengantarku. Inilah awal suara itu muncul, Ibu yang menemukannya, demi Aku dan Adikku. Kembali ke suara itu, setiap ku melangkah, suara itu semakin terdengar jelas. Seperti ada yang membesarkan volumenya. Sebentar lagi. Tidak sampai 3 kilometer, mungkin setengahnya. Tiba-tiba aku melihat gadis berambut panjang hitam pekat dan mempunyai paras yang cantik dengan sepedanya yang berwarna biru langit berhenti didepanku dengan jarak 100 meter. Aku tahu itu dia. Matanya sepertiku. Aku merinding. Sedikitku meneteskan air mata. Dia sudah remaja. Adikku. Terakhir ku melihatnya pada saat umur 13 tahun dan rambutnya masih sebahu, ketika itu aku ingin meninggalkan desa kecil ini. Sekarang. Senyumku. Pelukan adalah salah satu cara untuk melampiaskannya. “apakah ini sepeda kita?.” Tanyaku. Ia bercerita Ibu selalu menabung uang yang aku kirim setiap bulannya. Sekarang kami punya sepeda baru. Masih muda, dan tidak akan lagi menjadi bangkai. Kali ini aku yang akan menggerakan roda belakangnya menuju sumber suara itu berasal. Keringatpun tetes demi tetes berjatuhan. Hanya senyumannya yang sederhana, itu senjatanya, sekarang aku tahu betapa lelahnya ia. Tidak pernah berhenti, tidak akan, sekarang aku tahu apa yang harus kulakukan. Mari kita jemput ibu. Sampai. Sumber suara itu sekarang berada didepanku. Terdengar sangat jelas ketukan itu. Bahkan aku tidak sanggup lagi mendengar suara itu. Aku melihat beberapa orang menggunakan topi yang berbentuk kerucut yang diameternya agak lebar. Aku tahu itu dia. Mataku sama sepertinya. Aku mengusap sesuatu yang jatuh dari mataku. Adikku memanggilnya. Dari beberapa orang tersebut, salah satu dari mereka berdiri dan melepaskan topi kerucutnya. Kali ini sesuatu yang jatuh dari mataku tidak dapat lagi kubendung untuk kuusap. Ia masih tegak berdiri. Rambut putihnya hampir menutupi semua yang hitam. Lekukan keriput diwajahnya semakin bertambah. Sudah kuduga, ia mengluarkan senjatanya, senyuman sederhanya membuat ku jatuh dipelukannya dan sujudku. Aku menangis, adikku menangis, ibuku tidak menangis, ia hanya beberapa kali mengusap sesuatu yang matuh dimatanya. Lucunya beberapa orang yang disekeliling kami ikut menangis. Sudah cukup ibu, tidak perlu kau berkerja untuk mengeluarkan suara itu lagi. Suara dimana kau mengajarkanku arti bersyukur, kerja keras dan pantang menyerah. Suara dimana selama 5 tahun ini aku bertaruh nasib dan mendapatkan pekerjaan impianku. Suara yang dapat membuatku meneruskan pendidikan hingga aku bisa menjadi seorang Sarjana sekarang. Suara dimana saat ini aku harus menjemputmu ibu, menjemput kalian. Ya. Sudah cukup kau harus memecahkan batu itu, batu itu terlalu keras untuk kau pecahkan, kau sudah tua. Tapi semangatmu mengalahkan itu semua, batu itupun pecah. Semenjak ayahku, maksudku tikus itu meninggalkan kami. Ibu berkerja menjadi pemecah batu. Tidak setimpal uang yang ia dapat. Lihat tanganmu, banyak goresan luka akibat kau terlalu keras memukulnya menggunakan martil. Batu yang dipukul menimbulkan bunyi yang nyaring. Aku tidak sanggup untuk mendengar gesekan antara martil dan batu kali itu. Itu yang membuatku terpukul. Tapi, Rasa syukur membuatnya damai. Ibuku bilang ‘sekeras apapun batu itu, kalau kamu sungguh-sungguh, maka batu itu akan pecah juga, seperti hidup kalau kau sungguh-sungguh kau akan berhasil’. Kau sudah berhasil memecahkannya. Aku juga sudah berhasil memecahkan beberapa batu. Sekarang aku berani bertanya. “ibu apakah kau lelah?” . sekarang kau tidak perlu menimbulkan suara itu lagi. Giliranku. “Selesai”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar